BEM FKH UNSYIAH

SEBUAH TULISAN ANAK BANGSA UNTUK INDONESIA TERCINTA

Mengenai Saya

Foto saya
bem fkh unsyiah merupakan lembaga tertinggi mahasiswa yang berada di fakultas kedokteran hewan universitas syiah kuala, jabatan struktural ketua umum ari ramadhan sekum vici imshar bendum nanda putri humaira

Cari Blog Ini

Sabtu, 21 November 2009

Berdasarkan penelitian dari Internasional Labour organization (ILO), 19 persen atau 4, 18 Juta anak usia sekolah di Indonesia ternyata putus sekolah dan menjadi pekerja anak, dan lebih dari 350 ribu anak TKI yang ada di Malaysia tidak mendapatkan akses pendidikan karena orang tua mereka tidak memiliki dokumen dan si anak tidak memiliki kewarganegaraan.

Fasilitas pendidikan pun telah banyak yang rusak, sebagai catatan di Tanggerang 45 persen dari 378 sekolah mengalami kerusakan, di Madiun Jawa Timur dari 475 bangun sekolah yang ada, 121 mengalami kerusakan.

Tidak hanya di daerah, kerusakan sekolah pun terjadi di Jakarta. Ada sekitar 413 sekolah yang rusak, merata di semua wilayah DKI Jakarta. Bila ditotal jumlah sekolah yang rusak se-Indonesia ada sekitar 20.500, dari tingkat SD hingga SMA. Dari semua kerusakan tersebut, pemerintah hanya bisa memperbaiki sebagaian karena keterbatasan dana.

Pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah sebagaimana di amanahkan oleh UUD 1945 sangat jauh dari ideal. Anggaran Pendidikan yang diamanahkan sebesar 20 persen dari APBN dan APBD baru dapat direalisasikan pada tahun 2008 dan itu pun dengan aturan sebagaimana diputuskan oleh MK bahwa gaji guru termasuk dalam anggaran tersebut.

Hal yang sangat aneh, anggaran 20 persen bisa habis hanya untuk menggaji guru. Sebagian kecil saja yang dapat dimanfaatkan untuk perbaikan pendidikan Indonesia.

Tidak hanya itu saja, diskriminasi pendidikan pun masih ada, dimana dengan standardisasi sekolah nasional maupun internasional, membuat perbedaan yang sangat besar antar sekolah yang ada, sekolah-sekolah berstandar mendapat bantuan pemerintah lebih besar daripada sekolah yang tidak berstandar.

Sebagai contoh bantuan pemerintah kepada Sekolah Dasar Berstandar Internasional (SDBI) yang mendapat bantuan kepada rintisan SDBI sebesar Rp 500 juta pada tahun pertama, Rp 300 juta pada tahun kedua dan Rp 200 juta pada tahun ketiga. SDBI diharapkan nantinya dimiliki masing-masing kota dan kabupaten minimal satu SD.

Selama masa kampanye Pemilu pun, tidak banyak partai politik yang berbicara tentang konsep-konsep dan kebijakan pendidikan yang akan mereka lakukan apabila nanti mereka memenangkan pemilu.

Para elite politik lebih sibuk mengurus bagaimana cara bisa menjadi RI – 1 daripada mengurus anak bangsa yang tidak dapat bersekolah, tidak dapat menikmati pendidikan hingga jenjang yang paling tinggi, ataupun bersekolah dengan nyaman tidak takut gedung sekolahnya roboh ketika mereka belajar.

Seandainya biaya-biaya kampanye para elite politik itu dikumpulkan - tidak perlu semua, hanya 50 persen dana kampanye mereka - untuk pendidikan, maka berapa juta anak-anak bangsa dapat bersekolah hingga ke jenjang yang lebih tinggi.

Tetapi kenyataannya tidak, yang lebih peduli dengan anak bangsa malahan negara tetangga (Singapura) yang menyediakan dana miliaran dolar untuk memberikan beasiswa kepada anak bangsa yang memiliki kecerdasan lebih.

Kita tidak tahu bagaimana jadinya bangsa ini ketika para elite tidak peduli dengan pendidikan anak bangsa.

Pelajar Islam Indonesia (PII) sebagai organisasi yang konsen akan nasib pelajar dan pendidikan, dengan ini menyatakan sikap:

1. Cabut Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP)
2. Tolak Ujian Nasional (UN), berikan hak penilaian hasil belajar kepada guru yang mendidik pelajar.
3. realisasikan anggaran pendidikan 20 persen di luar gaji guru.
4. Sekolah Gratis sampai Perguruan Tinggi.
5. Tolak diskriminasi pendidikan
6. Tolak Calon Presiden yang tidak peduli pada Pendidikan.

Hari-hari esok adalah milik pelajar. Pelajar bersatu memperjuangkan hak-haknya.

Lawan kapitalisme dan liberalisme pendidikan.
entah sperti apa nantinya kita semua
entah bagaimana pula nantinya perjuangan ini ke depannya
semua hanyalah tinggal hayalan
berikut kutipan nya

oleh: Mutiara Ika Pratiwi

SUMPAH PEMUDA pada 28 Oktober, 81 tahun silam merupakan rekam sejarah kemajuan berpikir para pemuda Indonesia untuk BERSATU, saat itu, untuk merapatkan barisan menggalang kekuatan melawan penjajahan Hindia Belanda. Dapat dikatakan, Sumpah Pemuda merupakan momentum kebangkitan nasional menuju kemerdekaan Indonesia. Ironisnya, setelah sekian lama Indonesia mengikrarkan kemerdekaan pada Agustus 1945, secara de facto belenggu penjajahan belum lepas mencekik leher bangsa ini.

Dewasa ini, privatisasi pendidikan merupakan obat mujarab untuk mencocok hidung para pemuda Indonesia, menyempitkan pengetahuannya, mengembalikannya ke ranah pendidikan yang sempit dan picik. Sehingga tanpa mereka sadari, mereka telah jauh dari hakikat pendidikan itu sendiri: hanya tahu bagaimana cara untuk mendapat IP/nilai yang bagus, cepat lulus, mencari janji-janji kerja yang menghasilkan banyak uang dan (akhirnya) teralienasi dari kehidupan sosial, tanpa pernah mengerti kenapa pendidikan yang berkualitas menjadi mahal/eksklusif bagi masyarakat, kemana arah pendidikan kita dan kemana arah pembangunan negeri ini: memiskinkan atau memanusiakan.

Proses menjadikan institusi pendidikan sebagai milik perseorangan/golongan sehingga pendidikan tersebut menjadi eksklusif di masyarakat (Privatisasi Pendidikan) telah lama ada di Indonesia. Beberapa kebijakan pemerintah yang mendukung privatisasi pendidikan diantaranya:

- UU BHP, yang disahkan oleh DPR RI pada akhir 2008. Mungkin UU BHP ini memudahkan persoalan birokrasi dalam dunia pendidikan, institusi pendidikan mempunyai otonomi sendiri untuk mengurus kampus. Tapi seperti kata pribahasa, keluar dari mulut macan malah masuk ke mulut buaya. UU tersebut justru menghantarkan institusi pendidikan ke dalam jurang liberalisasi modal. Pasal 41 UU BHP mensiratkan bahwa pemerintah mulai melepaskan tanggung jawab pendanaan dunia pendidikan, menjadikan insitusi pendidikan layaknya perusahaan yang mengabdikan dirinya pada kepentingan korporasi yang orientasinya: Akumulasi Kapital. Maka jangan heran, ketika biaya pendidikan semakin hari semakin mahal, pembangunan fasilitas kampus tidak ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan (dalam pengertian yang sejati) peserta didik, akan tetapi lebih besar untuk mendatangkan keuntungan bagi kampus, dan dunia industry kapitalis. Pendidikan yang mahal, pada akhirnya menjadi lingkaran paradoks: calon mahasiswa akan mencari jurusan yang mudah mendapatkan kerja, dan para sarjana akan berpikir untuk mengembalikan utang mereka selama masa perkuliahan, dan akhirnya masyarakat juga menjadi akibatnya, seperti contoh para dokter-dokter orientasinya bekerja di rumah sakit swasta yang mahal, lalu semakin sedikit Dokter yang bersedia untuk diterjunkan ke daerah-daerah pedalaman. Privatisasi pendidkan juga mengakibatkan fakultas/jurusan yang tak kalah pentingnya dihapuskan karena sedikit peminatnya, misalnya, di Universitas Nasional Singapore sudah tak ada lagi jurusan sosiologi ataupun Filsafat karena dianggap tak menjanjikan untuk mengganti biaya pendidikannya yang mahal. Dan pendidikan di negeri ini tengah mengarah menuju kondisi yang serupa.

- Penerapan absensi 75%, sistem DO, pembatasan waktu aktivitas mahasiswa dan berdemokrasi di kampus. Secara historis, kemunculan kebijakan ini bersumber pada kebijakan NKK/BKK yang diterapkan tahun 1978 melalui Mentri Pendidikan Daoed Joesoef. Kebijakan ini ditujukan untuk mengembalikan aktivitas mahasiswa ke dalam kampus dan menjauhkannya dari kehidupan politik praktis. Alhasil, kebijakan ini berhasil mengkondisikan mahasiswa untuk kembali pada studi (back to campus), tanpa harus menaruh perhatian terhadap persoalan-persoalan politik kampus atau nasional sumber dari privatisasi pendidikan.

- Kurikulum pendidikan link and match. Penerapan kurikulum seperti ini ditujukan agar peserta didik (hanya) mampu memiliki keahlian yang dituntut oleh dunia kerja. Kurikulum ini sudah pasti mendorong mereka untuk semakin berfikir pragmatis dan menghilangkan pemahaman komprehensif mengenai situasi sosial yang terjadi di masyarakat.

Badai privatisasi pendidikan ini menghancurkan kesadaran kritis dan politis para peserta didik, mengecilkan semangat untuk berdiskusi, beraktivitas dan berorganisasi. Sehingga, di dalam situasi ekonomi politik Indonesia yang masih mengabdi kepada neoliberal, para pengenyam pendidikan ini nantinya hanya akan menjadi “bahan bakar” atau tenaga-tenaga kerja murah bagi akumulasi modal para kapitalis lokal atau internasional. Ironis!
Beberapa kebijakan yang mendukung privatisasi pendidikan tersebut dengan mudahnya masuk ke Indonesia, dilegalisasi oleh aparatur pemerintahan kita. Kabinet baru yang dipimpin oleh SBY-Boediono pun hanya akan me”LANJUTKAN” nasib pendidikan saat ini menjadi lebih buruk. Kenapa seperti itu? Karena, susunan pemerintahan (eksekutif, legislative maupun yudikatif) saat ini masih didominasi oleh unsur ataupun partai politik yang dalam sejarah telah terbukti betapa besar pengabdiannya kepada neoliberal/perdagangan bebas: Agen Imperialis.

Program-program populis pemerintahan sebelumnya seperti, BOS, BLT, PNPM, P2KP hanyalah program yang ditujukan untuk meredam gejolak rakyat, yang sama sekali tidak menyentuh akar persoalan kemiskinan dan pendidikan mahal di negeri ini. Dan sama sekali bukan jawaban untuk membangun fondasi mendasar kemandirian rakyat miskin. Hugo Chavez pernah menyampaikan:“Berikanlah KEKUASAAN kepada orang miskin: pengetahuan, tanah, kredit, teknologi, dan organisasi. Itulah satu-satunya cara mengakhiri kemiskinan”

Pemerintah justru menjadikan utang sebagai jalan satu-satunya sekarang dan mendatang. Dalam 4 tahun terakhir, pemerintahan Indonesia menambah utangnya dari 1.275 trilyun menjadi 1.667 trilyun (sumber: Perkembangan utang pemerintah 2001-2009). Itu berarti, utang bertambah 392 triliun dalam kurun waktu kurang 5 tahun. Padahal utang adalah pintu masuk bagi ADB, World Bank atau lembaga kapitalis lainnya untuk melancarkan program privatisasi industri ataupun pendidikan di Indonesia.

Melihat masa depan suram di atas, lalu apakah kita akan berpangku tangan dan menunggu waktu?

Melihat kondisi objektif para peserta didik yang mempunyai akses besar terhadap ilmu pengetahuan, tentu saja jawabannya: TIDAK!! Kebutuhan gerakan rakyat saat ini adalah memunculkan ekspresi-ekspresi politik massa rakyat (pelajar, mahasiswa, PKL, Buruh Pabrik, dll) yang resah akan pendidikan yang mahal/eksklusif, upah rendah, dll.

Badai privatisasi pendidikan dan kebijakan neolib lainnya hanya bisa dilawan oleh kekuatan massa rakyat yang bersatu, sadar akan akar persoalan sebenarnya, dan tidak terjebak dalam jalan keluar yang reformis. Oleh karena itu, segera:

1. Organisasikan dirimu dan lancarkan Propaganda Organisasi adalah alat untuk berjuang. Oleh karena itu, ia harus mempunyai arah program dan strategi yang jelas. Bagaimana membangun kesadaran massa yang masih reformis menuju kesadaran politis untuk lepas dari ketidaksejahteraannya. Selain itu, ia harus selalu berada di tengah-tengah massa untuk melancarkan propaganda/ penjelasan kepada massa luas.

2. Bangun Persatuan Sektor dan Multi Sektor Tidak akan ada perubahan tanpa persatuan. Persatuan itu sendiri akan lebih mudah diciptakan dimulai dari elemen-elemen massa rakyat yang berlawan. Sehingga persatuan tidak terbatas pada satu sektor/elemen saja. Persatuan yang dibangun juga harus mempunyai karakter kemandirian, mempunyai garis demarkasi yang tegas dengan elit-elit politik busuk agen neoliberal. Dengan begitu, Persatuan rakyat miskin akan menjadi embrio bagi pembentukan Pemerintahan Rakyat.

bagaimana ingin melakukan ini jikalau tidak adanya lagi kaderisasi yang baik dan minat anak muda bangsa untuk berfikir lebih kritis>>??
knapa mahasiswa skarang takut akan nilai??
apakah kita sudah di perbudak nilai
inilah nasib bangsa yang terus terpuruk....